“Apabila kamu melihat orang yang menjual atau membeli sesuatu didalam masjid, makan doakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagimu.’ Dan apa bila kamu melihat orang yang mengumumkan barang hilang, maka doakanlah,’ Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang’. “ (HR. at-Tarmidzi dan dishahihkan oleh al-Alabani)
“maksudnya adalah jual beli dalam bentuk yang besar, sehingga masjid seperti pasar. Hal itu karena beliau ( Rasulullah ) tidak melarang Ali menjual jasa perbaikian sandal, padahal kalau perbaikan sandal ini menjadi ramai hukumnya menjadi makruh. Hukum ini berlaku pada jual beli, membacakan syair dan membuat halaqah sebelum sholat ( Jum’at ), kalau ini menjadi ramai maka dimakruhkan, jika tidak ramai, maka tidak apa-apa. “ ( lihat Hasyiatu Ibnu Abidin : 1/660 )
Maksudnya dibolehkan membeli barang-barang yang dibutuhkan orang yang iktikaf seperti makanan dan pakaian. Adapun jual beli dengan tujuan berdagang, maka hukumnya makruh, apalagi bagi yang sedang iktikaf.
Di dalam beberapa riwayat dari Imam Malik bahwa transaksi yang bentuknya kecil dan remeh boleh dilakukan di masjid tetapi transaksi yang besar, apalagi sampai membawa barang dagangan ke dalam masjid, maka hukumnya makruh . Berkata al-Baji :
“ Diriwayatkan dari al Qasim dari Imam Malik di dalam al-Majmu’ah : “ Tidak apa-apa seseorang membayar utang kepada temannya di dalam masjid “ ( al- Muntaqa Syarh al-Muwatho’ : 1/ 342 )
Mayoritas ulama mengatakan jual belinya sah, bahkan tidak sedikit yang menyebutkan kesepakatan ulama dalam hal ini. Diantara ulama yang menukil kesepakatan tersebut adalah Ibnu Bathal, al-Mawardi, al-Iraqi, dan Ibnu Muflih.
“ Jika seseorang berjualan di masjid, maka jual belinya sah, karena jual belinya telah memenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak ada hal yang menyebabkan rusaknya jual beli tersebut. Adapun kemakruhan untuk berjualan di masjid tidak secara otomatis menyebabkan jual beli tersebut rusak ( tidak sah). Sebagaimana kecurangan dan penipuan serta manipulasi susu kambing di dalam jual beli. Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah (Maka katakanlah : “ Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.”) tanpa mengatakan bahwa jual beli tersebut rusak, hal ini menunjukkan keabsahan jual beli tersebut. ( al- Mughni : 4/ 337 )
Masjid adalah bangunan yang digunakan untuk sholat berjama’ah. Biasanya bangunan ini terbuat dari tembok, ada juga yang dari bambu atau sekedar tiang. Pertanyaannya apakah teras atau halaman masjid termasuk masjid, sehingga terkena hukum larangan jual beli di dalamnya ?
“Yang dimaksud dengan halaman ( teras ) masjid adalah tempat yang bersambung dengan masjid dan dan ditembok ( dipagari ) sekitarnya, maka ini termasuk masjid. Ini di tegaskan oleh imam asy-Sayfi’I akan sahnya iktikaf di dalamnya . (al-Majmu’ : 6/507).
“Para wanita yang beriktikaf jika sedang haid diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik iktikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid”.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk merajam terhadap seorang laki-laki dan perempuan Yahudi di dekat pintu masjid Beliau”. ( HR. Ahmad ( 4/196), Hadist Hasan )
“ Bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan memakainya untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat”. (HR Bukhari (886) )
Di sisi lain, larangan untuk berjual beli di dalam masjid sesunguhnya berlaku bila dilakukan di dalam wilayah ‘suci’ dan ‘sakral’ yang ada di dalam masjid. Di luar itu, meski masih merupakan asset masjid, namuntidak termasuk wilayah ‘suci’ dan ‘sakral’, sehingga hukum larangan itu tidak berlaku.
Misalnya halaman atau pelataran masjid, sesungguhnya kebanyakan pengurus masjid tidak mengikrarkannya sebagai wilayah suci dan sakral. Termasuk juga tempat wudhu, WC, toilet, gudang, atau tempat pembuangan sampah. Bahkan selasar (teras) masjid pun sering kali tidak termasuk wilayah yang dimaksud.
Batasannya yaitu ikrar dari pengurus masjid. Entah apa istilah lainnya, DKM atau takmir. Intinya, penanggung jawab masjid adalah pihak yang bertanggungjawab sekaligus punya wewenang untuk menetapkan garis batasnya. Dan ketetapan dari takmir ini mungkin saja dikoreksi dan diperbaharui berdasarkan kebutuhan.
Salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh salah satu takmir masjid di bilangan pusat kota Jakarta. Karena kekurangan ruangan untuk sekolah, maka takmir masjid mengikrarkan bahwa lantai 3 masjid itu untuk ruang kelas dan sekolah. Padahal sebelumnya termasuk ruang shalat. Dengan demikian, murid yang sedang haidh tetap bisa masuk kelas, meski ruang kelasnya adalah lantai 3 gedung masjid. Semua ditentukan oleh ikrar dari pengurus masjid.
Demikian juga urusan jual beli di masjid, asalkan dilakukan di luar wilayah suci dan sakral, hukumnya tidak terkena larangan. Karena bukan termasuk ke dalam hadits yang dimaksud.
Selain melarang berdagang di dalam masjid, Rasulullah juga tak memperbolehkan mengumumkan kehilangan.
Tetapi kalau mengumumkan penemuan barang yang hilang, itu tak mengapa. Seperti merespons transaksi perdagangan di dalam masjid, Rasulullah juga melakukannya terhadap pengumuman kehilangan.
Menurut beliau, siapa yang mendengar di masjid mengumumkan barangnya yang hilang, doakanlah semoga Allah tak mengembalikan barang-barang yang hilang itu. Sebab, masjid tak didirikan untuk itu.
Tetapi kalau mengumumkan penemuan barang yang hilang, itu tak mengapa. Seperti merespons transaksi perdagangan di dalam masjid, Rasulullah juga melakukannya terhadap pengumuman kehilangan.
Menurut beliau, siapa yang mendengar di masjid mengumumkan barangnya yang hilang, doakanlah semoga Allah tak mengembalikan barang-barang yang hilang itu. Sebab, masjid tak didirikan untuk itu.