Pada tanggal 27 April yang lalu, Prof. Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S.,
M.Eng. memberikan paparan dengan topik Harga Minyak Negatif: Apa, Mengapa dan
Sampai Kapan? melalui media daring. Bagi saya yang menjadi murid beliau di
kampus lebih dari satu dekade yang lalu, kemunculan Prof Rudi atau biasa kami
panggil dengan dengan sapaan akrab Mas Rudi untuk memberi "kuliah",
lebih menarik daripada topiknya itu sendiri. Saya yakin banyak murid beliau
merasakan hal yang sama.
Rudi Rubiandini memiliki gaya yang khas dalam memulai kuliahnya. Saat di
kampus dulu, beliau selalu membuka kuliah dengan sesi pertanyaan. Ya, sesi
pertanyaan, bukan pemaparan materi. Metode ini berhasil memaksa kami tenggelam
dalam diktat teknik pemboran, mata kuliah Mas Rudi, yang terdiri dari beratus-ratus
halaman sebelum kuliah dimulai.
Adalah pemandangan yang umum jika mahasiswa Teknik Perminyakan yang
sedang mengambil mata kuliah teknik pemboran pada suatu semester untuk terlihat
membawa buku yang tebalnya hampir menyerupai bantal kemanapun dia pergi.
Mengapa kami sangat terpacu untuk menguasai bahan sebelum kuliah dimulai?
Karena jika tidak ada pertanyaan atau walaupun ada, tapi pertanyaannya kurang
berkualitas, Rudi Rubiandini akan memberikan kompensasi berupa naiknya tingkat
kesulitan soal ujian.
Ada satu prinsip yang selalu disampaikan Rudi Rubiandini di awal
perkuliahan. Beliau mengatakan hanya mahasiswa yang sudah memenuhi standar yang
dapat lulus, kalaupun hanya satu orang yang masuk standar, maka hanya satu
orang itulah yang akan lulus. Beliau menamakan prinsip ini "Prinsip
Shaolin."
Selanjutnya, Rudi Rubiandini menjelaskan mengapa beliau mengaplikasikan
prinsip ini. "Di Shaolin, hanya murid yang memenuhi standar yang dapat
lulus, kalaupun hanya ada satu murid atau tidak ada yang masuk standar, maka
sebanyak itu pula yang lulus. Mengapa? karena ada tanggung jawab kepada
masyarakat. Lebih baik meluluskan satu orang yang akan berguna di masyarakat
daripada memberikan banyak lulusan yang tidak berguna karena belum memenuhi
standar."
Dengan prinsip ini ditambah dengan standar tinggi yang beliau tetapkan,
tidak heran banyak mahasiswa mata kuliah teknik pemboran yang bertumbangan
setiap semesternya. Kuliah teknik pemboran pun menjadi semacam ajang
silaturahmi akademis antara mahasiswa senior dan junior.
Cara mengajar yang cukup keras dapat kita pahami dari cerita-cerita yang Rudi
Rubiandini sampaikan sebagai selingan kuliah tentang masa-masa beliau menempuh
jenjang master dan doktoral di Jerman. Lewat cerita-cerita tersebut kami dapat
memahami darimana standar tinggi dan prinsip shaolin itu berasal, dari
cerita-cerita itu pula kami akhirnya mengerti visi beliau mendidik kami, untuk
menjadi manusia yang kuat, tahan banting dan tidak cengeng dalam mengarungi
kerasnya hidup yang akan dihadapi selepas kuliah.
Walaupun menetapkan standar tinggi dan tanpa kompromi di ruang kuliah, Rudi
Rubiandini adalah sosok yang baik dan dekat dengan mahasiswanya. Salah satu
momen yang selalu diingat adalah satu saat dimana kelas kuliah yang diadakan
berbarengan dengan ulang tahun beliau.
Pagi itu, di ruang kuliah, Rudi Rubiandini mengajar sambil sesekali
diselingi mengetik sesuatu pada handphonenya. Setelah beberapa kali mengetik,
beliau berkata "Mohon maaf ya saya sambil balas-balas SMS, karena hari ini
banyak yang mengucapkan selamat ulangtahun ke saya".
Serentak tanpa dikomando, kami pun langsung menyanyikan lagu selamat
ulang tahun kepada beliau. Suasana kelas yang diisi sekitar seratus orang saat
itupun langsung berbalik seratus delapan puluh derajat, dari sebelumnya hening
dan serius menjadi riuh dan ramai oleh ucapan selamat. Selesai bernyanyi, ada
beberapa mahasiswa yang nyeletuk "makan...makan mas!". Kontan saja
satu kelas langsung tertawa.
Tidak disangka Rudi Rubiandini menanggapi tawaran tersebut, "Ayo,
mau makan dimana? Atur ya". Langsung saja peluang itu kami tangkap. Tanpa
aba-aba, kamipun berembuk, lalu kesepakatan dibuat, terpilihlah sebuah restoran
Jepang dengan pertimbangan bisa makan sepuasnya atau all you can eat dan
harganya yang lumayan mahal untuk ukuran kantong mahasiswa.
Restoran di-booking, kuliah dibubarkan dan kami semua secara serempak
berangkat ke restoran, hasilnya? Restoran Jepang tersebut tutup setengah hari
karena semua makanannya habis dimakan mahasiswa-mahasiwa kelaparan yang
perutnya bagai palung dalam yang tak memiliki dasar.
Kenangan-kenangan diatas tiba-tiba muncul saat melihat Rudi Rubiandini kembali
memberikan kuliah walaupun melalui media daring. Satu hal yang saya syukuri
adalah, saya (dan mungkin juga teman-teman kuliah satu angkatan) dapat
merasakan gemblengan Mas Rudi. Walaupun keras (dan saya dengar banyak yang
kurang setuju dengan cara beliau), hal itu telah memberikan warna-warni
tersendiri pada masa kuliah kami.
Rudi Rubiandini sendiri kemarin telah kembali ke dunia pendidikan yang
dicintainya setelah melalui banyak cobaan. Dengan tegar dan penuh percaya diri
beliau tampil memberikan paparannya. Seakan-akan sedang memberikan contoh
kepada kami, para anak didiknya, bagaimana menjadi pendekar shaolin yang
tangguh. Tidak hancur diterjang kerasnya dunia dan selalu bangkit kembali
setelah diterpa cobaan.
Dikutip dari : www.kompasiana.com